Jumat, 07 Juli 2017

BAB 31 - MAGIC HOUR

INDAH sekali...

Raina tidak henti-hentinya mengagumi keindahan pemandangan Kawah Ijen ketika magic hour tiba. Ia dan Dimas sudah berada di Kawah Ijen, sebagai bagian dari liburan mereka dan untuk melihat magic hour dari tempat yang berbeda dari biasanya.

Raina dengan tubuh dibalut jaket berdiri di pinggiran kawah, dengan ditemani Dimas yang menggandengnya. Dimas pun memeluk Raina, keduanya memandangi langit, melihat magic hour sambil tersenyum bahagia.

"Mungkin, ini yang dinamakan cinta sejati. Raina, aku mungkin bukan cinta pertama kamu. Tapi, kalau kamu mengijinkan, aku janji akan menjadi yang terakhir buat kamu.

Raina tersenyun. "Oh, ya. Aku punya ini buat kamu, sebagai kado ulang tahun kamu."

Raina memberikan sebuah jam tangan kepada Dimas.

"Wow... tuan putri kasih kejutan. Makasih." Dimas mengerenyitkan dahi. "Tapi, kenapa jam tangan?"

Wajah Raina menjadi serius. "Dimas, kesalahan manusia yang terbesar, adalah tidak pernah menyadari kapan waktunya bisa jadi saat terakhir dalam hidupnya. Karena dalam hidup, gak ada yang abadi. Kecuali, cinta itu sendiri."

Raina menerawang menatap langit. "Aku sudah mendapatkan kesempatan kedua dari Tuhan. Aku ingin menjalani setiap waktu yang ada. Sebab, aku sadar suatu saat semua momen ini hanya akan menjadi kenangan. Dan aku gak mau, baru menyadari betapa berharganya waktuku bersama kamu, saat aku udah gak memilikinya."

Dimas tersenyum penuh arti. "Aku akan temani kamu, menjalani setiap waktu yang ada dan bikin kenangan yang suatu saat akan jadi sejarah terindah buat kita berdua."

Raina mengangguk mesra.

Keduanya kembali berpelukan. Sementara, langit sebentar lagi akan gelap, yang berarti magic hour mereka pada hari ini akan hilang. Tapi, bagi keduanya, hanya ada satu yang tidak akan pernah hilang. Tidak akan pergi. Itu adalah cinta dan itu satu untuk selamanya.

BAB 30 - MAGIC HOUR

"RAIN!" Toby memanggil Raina. Ia yang sedang membantu Gwenny merapikan bunga-bunga di toko, baru saja melihat seseorang datang.

"Rain...," panggilnya lagi. "Ada Dimas!"

Dimas hanya mengangguk pelan kepada Toby.

Toby balas tersenyum kecil.

"Tunggu!" Raina berteriak dengan suara tersamar. Tak lama, Raina sudah hadir di antara Dimas dan Toby. Ada kecanggungan di sana.

"Hai. Mau pergi sekarang?" tanya Dimas, memastikan.

Raina mendelik manja. "Sebentar, ya!"

Ia pun menghilang sebentar. Tapi tak lama, sudah kembali bersama Gwenny yang membantunya membawakan tas ransel.

"Dim, tolong jagain adek gue baik-baik, ya!" pinta Gwenny saat ia bertemu Dimas.

Dimas tertawa hangat. "Seharusnya, kita bisa pergi sama-sama, nih!" ujarnya.

"Iya, next time kita harus ke sana, berempat!" timpal Raina.

"Gue juga kalo gak inget kerja, udah ikut, nih!" sahut Toby.

"Ya udahlah, kalian siap-siap aja! Kita juga mau pergi." Gwenny mencoba menyudahi perbincangan mereka.

"Emang filmnya main jam berapa sih, Sayang?" tanya Toby.

"Jam enam. Masih ada waktu sih, tapi kan kita masih harus keliling-keliling buat nyari-nyari kebutuhan di wedding kita. Inget loh, rencana tahun depan." Gwenny langsung tersenyum mesra kepada Toby.

Tak disangka memang, sejak pertemuan di rumah sakit, Gwenny dan Toby yang awalnya memang sudah saling mengenal, menjadi semakin akrab. Komunikasi mereka jadi semakin intens, apalagi mereka jadi sering bertemu gara-gara harus mengurus Raina.

Di sinilah benih cinta keduanya mulai tumbuh. Mereka mulai merasa ada kecocokkan. Toby seperti mendapatkan pengganti Raina, Gwenny juga seperti dapat menemukan sosok pangeran yang bisa menggantikan Dimas. Walau karakter keduanya, jauh berbeda.

Toby memang tidak lebih kaya dari Dimas. Tapi, bagi Gwenny ia jauh lebih menyenangkan daripada Dimas. Toby juga memiliki taste dalam seni yang lebih tinggi dari Dimas. Meski dalam hal kebaikan, keduanya dapat dikatakan sama baiknya.

Mereka pun sudah memiliki rencana untuk menikah, tahun depan. Restu dari Tante Flora dan orangtua Toby sudah mereka dapatkan. Kini, hanya tinggal mencari hari baik, gedung, dan juga wedding organizer. Tak heran, mereka menjadi lumayan sibuk akhir-akhir ini.

"Waduh... kita juga gak boleh ketinggalan sama Gwenny dan Toby nih, Dim," sahut Raina, "iri" melihat rencana pernikahan Toby dan Gwenny.

"Iya. Sabar. Kita pasti setelah Toby dan Gwenny."

Toby dan Gwenny hanya tertawa mendengar ucapan Dimas.

"Okelah, kita pergi dulu. Lumayan jauh nih rutenya."

"Oke. Hati-hati ya, guys. Have fun...," ucap Toby.

BAB 29 - MAGIC HOUR

"AKU gak nyangka, kamu yang ngewujudin impian aku bikin novel ini. Aku bener-bener gak bisa ungkapin pake kata-kata, Dimas... Terima kasih, ya," ucap Raina senang. Ia dan Dimas tengah (kembali) menghabiskan senja mereka di dermaga kayu favorit Raina.

Dimas hanya tersenyum sambil terus memandangi Raina, membuat Raina menjadi salah tingkah.

"Kenapa sih, ngeliatin aku kayak gitu?" selidik Raina.

"Gak apa-apa. Aku seneng aja, tiap liat mata itu bercahaya. Tandanya kamu bahagia!"

Raina langsung tersipu, merona.

Tiba-tiba, hujan rintik mulai turun dari langit, membuat Raina melonjak kegirangan. Ini adalah hujan pertamanya sejak ia masuk rumah sakit.

"Hujaann! Dimasss, kita udah lama gak..."

Tapi Dimas langsung memotongnya. "Pulang, Rain, ntar kamu sakit!"

"Pulang? Dimas, kamu lupa apa yang biasa kita lakuin kalo hujan?"

Dimas tertegun. "Gak, aku gak lupa. Tapi kamu harus pulang.

Raina mulai memandangi Dimas dengan curiga. Ada sesuatu yang ganjil yang tengah terjadi, tapi Raina sulit untuk memastikannya.

"Dimas..." tegur Raina.

"Iya."

"Dulu, ada satu hal yang selalu kamu bilang ke aku. Kamu masih ingat?"

Dimas mulai gelagapan. "Kan ada banyak yang pernah aku bilang ke kamu."

"Dulu kamu pernah bilang, ada hal yang lebih indah dari jatuh cinta. Kamu masih ingat, itu apa?"

Dimas mulai berpikir. "Emm... hal yang lebih indah dari jatuh cinta itu, adalah... emm... impian! Iya, impian!" Dimas tersenyum lebar.

Raina mulai memancarkan pancaran sinar mata yang tidak nyaman.

"Ayolah, kita pulang." Dimas kemudian menyentuh bahu Raina, mencoba merangkulnya.

Tapi Raina malah mundur beberapa langkah, setelah sentuhan lembut itu.

"Aku kenal sentuhan ini. Kamu bukan, Dimas! Siapa kamu?! Dimana Dimas?"

Dimas terperanjat. "Rain! Apa-apaan kamu? Ini aku, DIMAS!"

"Bukan! Kamu jangan berbohong!" Raina masih bersikeras dengan pendiriannya.

"Ada apa dengan kamu?!"

"Bukan! Aku gak percaya sama kamu!" Raina lalu melarikan diri dari hadapan Dimas.

Kini hanya Dimas seorang diri, termenung di atas dermaga.

Semenjak saat itu, perasaan Raina kepada Dimas pun mulai berbeda. Apa yang dulu pernah ia rasakan, kini seperti menguap tanpa bekas. Ada sebuah perubahan dalam diri Dimas yang seorang pun tidak dapat menjelaskannya dan Raina tidak bisa menerima hal ini. Ia marah dan tak lagi mau menerima semua telepon yang berasal dari Dimas. Baginya, bukan Dimas yang sekaranglah yang ia mau.

"Tapi Gwenn... bagaimana mungkin, dia bisa lupa akan banyak hal dan sentuhan serta ciuman yang pernah di berikan, itu sangat berbeda dengan apa yang dulu pernah juga ia kasih. Dia bukan Dimas!"

Itulah pertanyaan Raina pada suatu hari kepada Gwenny, untuk mempertanyakan segala rasa penasarannya selama ini.

"Terus, kalo memang apa yang lo lihat selama ini bukanlah Dimas, dia siapa dong?"

Tapi Raina tak mampu memberi jawaban. Ia bingung.

"Ada banyak hal, Rain, yang mungkin belum bisa lo temuin jawabannya sekarang. Dan bahkan ada juga pertanyaan yang lo sendiri gak mungkin tau jawabannya atau bahkan nanti malah gak mau tau. Tapi yang jelas, gak ada yang salah di sini. Dimas mungkin berubah selama proses kalian berpisah walau sejenak itu. Tapi dia itu tetap Dimas yang sama kadar cintanya ke lo."

"Tapi Gwennn..."

"Sssshhh...." Gwenny langsung memotong keraguan Raina. "Percaya sama gue. Apa pun yang sedang lo rasain saat ini, atau apa pun yang menjadi keraguan lo, cinta Dimas ke lo gak pernah hilang! Nanti juga lo akan mengerti, kenapa dia berubah."

Raina hanya tertegun, menyimak perkataan Gwenny.

"Jangan sampe terlambat, Rain! Jangan sia-sia in cinta orang yang udah begitu tulusnya ke lo. Jangan lagi abaikan dia."

Perlahan Raina mengangguk.

"Lo sayang kan sama Dimas?"

"Sayang banget."

"Ya udah. Dimas juga sayang sama lo. Dan itu cukup.

Raina masih belum puas. "Tapiii...."

"Udah gue bilang, nanti lo pasti akan dapatin jawabannya, kenapa Dimas sepertinya bukan Dimas yang dulu. Meski mungkin gak harus sekarang. Tapi paling tidak, saat ini jalanilah cinta yang udah kalian bangun dan jaga. Cinta itu gak pernah pake alasan, Raina sayang!"

Raina mulai tersenyum.

"Ingat, siapa yang paling sayang sama lo?"

"Kamu."

"Dan siapa yang paling sayang sama gue?"

"Aku."

"Itu cukupkan? Dan itu tidak butuh alasan banyak." Gwenny tersenyum penuh arti.

"Iya. Aku tau sekarang. Meski ada hal-hal yang buat terasa ganjil, tapi cinta akan mampu menutupi segalanya." Raina langsung memeluk Gwenny. "Makasih ya, Gwennyyyyy...."

"Sekarang, kejar cinta lo! Jangan lepasin dia!" perintah Gwenny.

Raina tersenyum lebar kini. Pertanyaannya mulai mendapat jawaban. Dan ia sadar, kalau ia tidak boleh melepaskan Dimas.

BAB 28 - MAGIC HOUR

GWENNY dan Toby terlihat sibuk menyiapkan semua kebutuhan Raina. Sesekali, keduanya bercanda, nampak akrab dan saling curi pandang. Sepertinya, kecurigaan Raina benar, ada sesuatu di antara mereka.

Raina tersenyum mengawasi keduanya.

"Ehem...," ledek Raina.

Toby dan Gwenny sama-sama tersipu.

"Gue seneng banget, Rain, lo bisa kembali kayak dulu. Gak ada yang berubah kan di antara kita?"

Raina menggeleng sambil tertawa kecil.

"Jadi, siapa yang paling sayang sama lo?" tanya Gwenny.

"Kamu." jawab Raina mantap.

"Yang paling sayang sama gue?"

"Aku."

Mendadak wajah Gwenny menjadi sedih. Ia memeluk Raina sangat erat.

"Gue mau minta maaf, Rain, soal Dimas. Gue nyesel. Tentang Dimas... gue...," kata Gwenny terbata-bata.

Raina agak keheranan. "Gwen, kamu kan gak salah. Lagipula, soal Dimas seharusnya aku yang minta maaf."

Gwenny menggeleng. "Bukan itu..."

Tapi, Toby langsung menatap Gwenny tajam. "Gwenn!" tegur Toby.

Gwenny tersadar, mengusap matanya yang basah dan melepaskan pelukannya ke Raina.

"Gue bahagia banget, lo bisa ngeliat lagi, Rain," sambung Gwenny.

"Gue balik ke kafe dulu, ya. Istirahat, Rain!" Toby mendadak menimpali.

"Siap! Makasih, Tobinyoonggg...," ujar Raina.

Toby mengacak rambut Raina dengan sayang, lalu melirik Gwenny dengan pandangan lebih lembut.

"Kamu juga istirahat, jangan kecapean maen suster-susteran sama Raina!"

Gwenny tersenyum, tersipu, mengangguk.

"Rain, gue anterin Toby keluar dulu, ya," ucap Gwenny sementara Toby sudah terlebih dahulu meninggalkan ruangan.

Tapi Raina langsung menahan tangan Gwenny. "Gwen... Kamu tau gak, Toby itu cowok yang baik. Kamu beruntung kalo sampe dapatin dia."

Pipi Gwenny memerah, tersipu malu. Tanpa bicara apa pun, ia lalu pergi, menyusul Toby.

Kini, pandangan Raina terpaku pada sebuah kotak pink yang tergeletak di atas meja, tidak jauh darinya. Raina meraih kotak pink itu dan perlahan membukanya.

Raina hening tanpa ekspresi.

Ia melihat sebuah novel, bertuliskan:

MAGIC HOUR
Satu Cinta Untuk Selamanya
Sebuah novel karya RAIN

Raina sangat terkejut. Ia kemudian meraba novel di tangannya itu dengan pancaran wajah yang masih tidak percaya. Tapi, kemudian ia tersenyum.

"Dimas...," tuturnya pelan. Ia tahu pasti, siapa dia di balik novel ini. Senyum bahagia menghiasi wajahnya. Rasanya, setelah berbagai derita, hidup Raina kini terasa sangat sempurna.

BAB 27 - MAGIC HOUR

BEBERAPA jam kemudian...

Raina duduk dengan mata diperban. Ia terlihat sangat sehat. Dokter kemudian datang dan membuka perban penutup mata Raina.

Tante Flora, Tante Cindy, Gwenny, dan Toby yang ada di situ, semua menahan napas, menahan ketegangan. Semuanya, penuh dengan harap.

Perban mata Raina kini telah dibuka.

Raina mulai melihag cahaya. Ia mengedipkan matanya, perlahan. Matanya mulai bisa melihat bayangan. Tapi, masih sekelebat. Raina menutup matanya dengan tangan, takut.

Tante Flora menatap dokter dengan rasa khawatir.

"Dok, what's wrong? Aya naon?"

"Tidak apa-apa. Masih penyesuaian. Kebanyakan pasien, merasa takut pada awalnya. Itu wajar," terang dokter berusaha menenangkan situasi.

Gwenny mendekati Raina, menggenggam tangannya. "Rain, jangan takut. Gue di sini. Toby juga di sini."

Perlahan, Raina menurunkan tangannya dari mata dan mengerjap-ngerjap. Bayangan mulai sedikit jelas, lebih jelas, dan semakin jelas.

Kini Raina dapat melihat, jelas, seperti sebelumnya.

"Gwenny, Toby, Tante Flora..." Raina memanggil nama mereka dengan haru, karena ia telah bisa melihat mereka. Ia bisa kembali melihat dunia.

"Dia melihat, Mi! Rain bisa melihat lagi!" Gwenny memekik kegirangan, menangis memeluk Raina.

Tante Flora juga menangis, memeluk Gwenny dan Raina. Sementara Toby, menarik napas lega.

"Dimas."

Tiba-tiba, Raina menyebut nama itu. Dia langsung teringat kepada sosok lelaki yang sudah lumayan setia menemaninya sebelum proses operasi itu dimulai.

Semua kini membeku. Wajah mereka berubah, setelah sebelumnya sempat tertawa. Mereka saling memandang. Sampai akhirnya Tante Cindy bersuara, "Dimas akan segera ke sini, Rain," ujarnya.

Raina pun langsung tersenyum bahagia mendengar ucapan Tante Cindy barusan.

Beberapa hari kemudian...

Raina yang masih terbaring lemah di bangsal rumah sakit, mendadak tercekat. Ia tidak mempercayai apa yang sedang ia lihat. Pandangannya lurus ke depan. Ia tak dapat bersuara. Ia seperti melihat sosok malaikat yang turun dari langit.

Di hadapannya kini, ada Dimas tengah berdiri, sehat dan tersenyum canggung kepadanya. Sungguh tak amat ia sangka. Sementara, hujan turun dengan deras di luar.

Raina duduk di tempat tidur, sementara Dimas tengah menyuapinya. Ia tersenyum menatap Raina yang melihat hujan di luar jendela.

"Gak sabar mau ujan-ujanan ya?" goda Dimas.

Raina tersenyum, mengalihkan pandangannya ke Dimas. "Kamu, apa kabar? Kamu kurusan sekarang. Terus rambutnya itu...."

Dimas salah tingkah, menyisir rambutnya dengan jari. "Aku baik, Rain. Emang kenapa, berantakan? Udah gak kayak dulu, ya?"

"Dulu lebih rapi, sih. He...he...he... But, it's okay. Mungkin efek sakit kamu, ya?"

Dimas tertawa kecil.

"Eh, Dim, aku perhatiin, Gwenny sekarang lagi deket sama Toby, lho. Gwenny sama kamu, kan..."

Dimas menjadi salah tingkah.

"Ah, gak apa-apa. Aku biasa aja."

"Tapi, agak aneh menurut aku, kalo kalian hampir gak pernah ngobrol. Kalian jadi kayak orang asing gitu. Dia masih marah sama kamu?"

Dimas semakin salah tingkah.

"Ya udah, istirahat, ya! Aku mau balik. Besok kan kami udah boleh pulang, jangan capek-capek." Dimas langsung memotong topik pembicaraan.

Dimas berdiri dan siap beranjak pulang.

"Dimas..." Raina memanggil. Tapi ia hanya memandangi Dimas tanpa kata.

Aku pulang, ya," ujar Dimas. Ia kemudian dengan cepat membungkuk dan...

Cup! Bibir tipis Dimas mendarat sempurna di dahi Raina. Benak Raina pun mendadak terbuka.

Ciuman ini? Aku tau persis, sangatlah berbeda dari sebelumnya. Raina membatin setelah Dimas menciumnya. Tapi belum sempat Raina bertanya banyak, Dimas sudah bergeas pergi, meninggalkan Raina, dengan sebuah pertanyaan baru.

BAB 26 - MAGIC HOUR

'DUAR!'

Suara petir menggelegar hebat. Membuat Raina yang sedang tertidur di kamarnya, terbangun. Tangannya meraba-raba, berusaha meraih tongkatnya yang terjatuh.

Mendadak pintu kamar Raina terbuka.

"Siapa?" selidik Raina.

Gwenny muncul dengan air mata berlinang. Tapi, ia nampak lega dan bahagia. Gwenny lalu menghampiri Raina dan memeluknya.

"Rain, lo dapet donor mata! Lo bisa liat lagi, Rain!" ujar Gwenny.

Raina membisu. Ia terharu. Cahaya telah terlihat di ujung lorong baginya.

Gwenny duduk di ruang tunggu bersama Raina. Gwenny terlihat gelisah. Duduknya tidak bisa tenang.

"Duh, lama banget sih Mimi."

Raina tersenyum. "Kenapa, sih? Kok, kamu yang gelisah?"

"Emangnya lo nggak?"

Raina menggeleng.

"Gue beli minum dulu, deh. Bentar, ya!" Gwenny lalu bergegas pergi meninggalkan Raina.

Raina sendirian kini, hingga seseorang kemudian duduk tepat di sampingnya.

"Gwenny? Gak jadi beli minum?" tanya Raina dengan curiga, saat menyadari kehadiran seseorang di sampingnya.

"Rain...."

Raina tercekat. Suara itu... suara yang amat ia rindukan selama ini.

Perlahan tangan Raina terulur dan meraba wajah orang di sampingnya. Tangan Raina lalu terbenti, membeku di udara. Seolah tahu itu siapa. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Kamu...."

Di koridor rumah sakit, Gwenny berjalan cepat membawa sebotol minuman dingin. Tapi, langkahnya terhenti. Ia melihat seseorang.

Toby.

"Hai, Gwen," sapa Toby antusias. "Gimana Raina? Kapan operasinya?"

"Hai, Tob. Belum tau, nih. Nyokap masih ngomong sama dokter. Lo mau ketemu Raina? Dia di...."

"Gak. Gue titip ini aja."

Toby menyodorkan gelas tea latte kesukaan Raina.

"Kenapa gak kasih sendiri aja?"

"Gue mesti kerja. Gue titip lo aja, ya. Oh, ya. Kalo boleh, gue mau telepon lo besok buat tanya keadaan dia. Boleh, kan?"

Gwenny tertawa kecil. "Ya, bolehlah."

Toby mengangguk sambil tersenyum memerhatikan Gwenny. Gwenny membalas senyuman Toby. Ada sesuatu di balik senyuman itu dan itu bisa dirasakannya. Sebuah senyuman teduh yang serasa mendekap hatinya dengan aman.

"Lagu lo bagus, Tob," puji Gwenny.

"Thanks."

"Gue suka."

"Serius? Hm... gue lagi siapin single kedua, sih. Kapan-kapan, denger yah! Kasih tau bagus apa nggak. Belum ada yang pernah denger soalnya. Lo bakal jadi orang pertama yang gue kasih denger."

Gwenny senang dan mengangguk cepat.

"Dimas, aku kira kita nggak bakalan ketemu lagi." Raina berucap sendu. Ada seribu rasa bercampur baur di hatinya.

Dimas diam dan memperhatikan Raina. Ia menarik napas panjang sembari memegang tangan Raina. "Aku akan selalu ada buat mastiin kamu baik-baik aja, Rain."

Air mata Raina menetes dan tangan Dimas dengan spontan mengusap air matanya.

"Kamu harus janji gak akan pernah nangis. Kamu harus inget, kamu adalah alasan seseorang tersenyum, Rain!"

Raina terisak perlahan. "Aku minta maaf, kalo waktu itu aku udah bersikap kasar ke kamu, Dim. Aku baru sadar, setelah beberapa hari, aku jadi sangat merindukan kamu."

"It's okay, Rain. Kamu gak salah. Aku bisa ngerti keadaan kamu. Aku malah ingin berterima kasih ke kamu, karena telah membuat aku menjadi pribadi yang lebih baik dan bersemangat lagi."

"Lebih baik seperti apa?"

Dimas tertawa pelan. "Kamu tau, aku itu waktu di London, playboy banget." Dimas mengenang. "Gak pernah puas sama satu orang perempuan. Tapiii... kehadiran kamu, membuat aku gak bisa kemana-mana. Aku memantapkan hati aku ke satu orang saja, yaitu kamu."

Raina tertawa. Walau ini terdengar ironis, tapi bagi Raina, kejujuran Dimas barusan adalah lucu. "Kalo yang buat semangat, apa?"

Dimas terdiam sesaat. Tapi, ia akhirnya bicara. "Aku itu sempat sakit, Rain. Tapi kamu, udah buat aku punya alasan kenapa aku harus berumur panjang. Aku jadi semangat lagi buat menatap hidup ini. Dan semua gara-gara kamu!"

"Kamu sakit? Sakit apa?" selidik Raina.

"Gak penting. Yang penting sekarang aku udah baik-baik aja." Dimas lalu mencium kening Raina.

"Kapan kamu mulai operasi?" tanya Dimas.

"Belum tau. Mungkin bisa beberapa hari lagi. Tapi yang sudah pasti, aku udah dapat pendonor mata. Entah, siapa pun dia, yang pasti dia udah sangat baik buat aku."

Dimas tertunduk. Wajahnya memancarkan kesedihan. Tapi ia berusaha untuk tegar.

"Iya, Rain. Orang ini sangat baik sekali sama kamu."

"Kira-kira Dim, kamu tau siapa orangnya?"

Dimas menggeleng. Ia terharu. "Gak. Aku gak tau," katanya singkat. Ia langsung mendekap Raina dan memeluknya dengan sangat erat. "Aku sayang kamu, Rain! Sayang sekali." Air mata Dimas kemudian menetes.

"Aku juga sayang kamu, Dimas!" tegas Raina, sambil terisak. Ia tenggelam dalam pelukan Dimas. Dan ini sangat berarti banyak bagi Raina, seperti memberinya kekuatan untuk menghadapi operasi demi kesembuhannya.

Semenjak hari itu, beberapa hari sebelum operasi, Dimas selalu menemani Raina, baik hanya untuk sekadar jalan-jalan di taman seputaran rumah sakit, atau cukup di dalam kamar, menemani Raina sambil mereka berbincang akan banyak hal. Semua itu dilakukan Dimas dengan sangat tulus, tanda bukti cintanya yang teramat besar untuk Raina. Sampai hari operasi tiba....

Raina didorong oleh para perawat di brankar untuk menuju ruang operasi. Tante Flora dan Gwenny juga ada di situ, memberikan dukungan.

Di ruang operasi, perawat memasang oksigen bius kepada Raina.

Suara napas Raina yang teratur mulai melambat. Mesin grafik jantung juga mulai menjauh, pertanda kesadaran Raina mulai melemah. Benak Raina kini menggambar dengan jelas, kenangan ketika ia menari dengan Dimas, di atas dermaga, di bawah guyuran hujan.

"Kamu janji, gak akan ninggalin aku! Janji akan sama-sama aku selalu, bersamanya? Apa mungkin kamu cinta sejati aku?"

"Aku jatuh cinta sama kamu, sebelum aku ketemu kamu. Aku mencintai hujan sejak aku belajar menari di bawah hujan bersama kamu. Buatku, kamu adalah satu cinta untuk selamanya, Rain."

Kenangan itu terus berputar dan menggema dalam otak Raina, sementara Raina sudah mulai kehilangan kesadarannya. Para dokter saling melihat, dan memberi tanda bahwa pasien mereka telah siap untuk menjalani operasi.

Dimas... kamu dimana? Suara hati Raina ini, menjadi suara terakhir yang ia ucapkan sebelum ia akhirnya benar-benar menghilang dan operasi pun dimulai.

BAB 25 - MAGIC HOUR

SUASANA di coffee shop tempat Toby bekerja ramai seperti biasanya. Tapi, ada yang istimewa hari ini saat para pegawai mendengarkan radio.

"Dan, di tangga lagu pertama kita minggu ini... ada Toby yang ternyata seorang barista di coffee shop gak jauh dari Radio Prambors loh kawula muda. Oke, langsung aja, ini dia Toby si barista kece dengan single-nya... RAIN! Yeay...."

Suara penyiar radio yang memperkenalkan lagu nomor satu di Prambors, sontak langsung membuat Badrun, Anisa, Raka, dan Gilda kaget bukan kepalang.

Lagu Toby yang ia buat untuk Raina pun mulai mengalun pelan, di bawah tepuk tangan senang Anisa dan Raka. Sedangkan Badrun, tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"Fix! Akikes meleleh... Bang Brandoonnn, pengin cakar-cakar aspaaall, deh!" timpal Gilda yang geregetan sambil mencakar-cakar Brandon alias Badrun.

"Eh, sekali lagi lo kayak gitu, gue awetin lo, ye!" tegas Badrun.

"Weiii... temen kita jadi artis, nih," ujar Raka.

"Nih bocah, nembak cewek aja gagal. Tapi, malah bisa masuk radio," ujar Badrun menanggapi ocehan Raka. "Mana tuh bocah?"

"Belum dateng, Bang. Ah, Toby, keren banget!" Anisa menimpali.

Badrun menyeringai halus. "Ini lagi... gara-gara lagu setitik, rusak move on sebelanga! Dasar anak muda." Badrun kemudian memilih untuk kembali bekerja, meninggalkan anak buahnya yang masih termehek-mehek mendengarkan suara Toby.

Raina tak berhenti tersenyum ketika ia mendengarkan suara Toby mengalun merdu di radio lewat ponselnya. Ia sedang berada di dermaga, tempat favoritnya. Setelah kurang lebih seminggu dirawat, ia kini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, sambil menunggu kabar untuk perawatan berikutnya dan juga tentang pendonor mata yang masih di cari. Tapi lebih dari itu, di dermaga ini, Raina sebenarnya tengah memendam rindu kepada seseorang yang telah cukup lama tak lagi ia dengar kabarnya.

Aku kangen kamu... Dimas! Batin Raina.

"Rain...." Suara seorang pria terdengar, memanggilnya dengan lembut.

Raina kaget. Ia menoleh, mempertegas pendengarannya, mencari tahu siapa lelaki yang telah menyapanya.

"Tobinyoong!" Raina memekik senang. "Selamat ya, aku lagi dengerin lagu kamu, nih. Wuih, udah jadi top chart di radio, lho."

Tapi, Toby tidak menanggapi pujian Raina. Ia hanya berdiri memerhatikan Raina. Perlahan, ia mulai membelai rambut Raina. Air mata menetes lambat membasahi pipinya. Kemudian, ia memeluk Raina erat sambil menangis tanpa suara.

"Toby... kamu kenapa?" selidik Raina bingung.

Toby tidak menjawab. Ia terus memeluk Raina. Hatinya benar-benar hancur kini.

Kenapa gue harus sakitin orang yang gue cinta? Bahkan, gue gak bisa menebus dosa gue sama dia. Kenapa? Toby membatin sedih.

"Kamu, kenapa, sih? Kalo kamu gak mau kasih tau aku kamu kenapa, lebih baik kamu pergi!" tegas Raina, membuyarkan penyesalan Toby.

Toby pun mulai bersuara. "Kamu mau tau siapa yang udah bikin kamu kayak gini? Kamu mau tau siapa yang ngancurin hidup kamu?"

Raina tidak berespons. Ia hanya diam,

"Kamu tau gak, kalo orangnya itu... aku, Rain! Aku!"

"A... apa sih maksud kamu? Bukannya pelakunya, Dimas? Dimas, dia orang yang tabrak aku."
"Iya, Dimas hanya menghindar saat aku nyeberang. Itu sebabnya dia kehilangan kendali dan tabrak kamu! Aku penyebabnya, RAIN! Kalo aku gak sembarangan nyeberang saat itu, Dimas gak akan tabrak kamu! AKU YANG BIKIN KAMU BUTA DAN AKU GAK BISA NEBUS DOSA AKU KE KAMU! AKU YANG UDAH NGEHANCURIN HIDUP KAMU, BUKAN DIMAS!" tegas Toby dalam tangisan. Penyesalan itu kini sungguh terasa tiada duanya bagi Toby.

Sementara, Raina hanya terpaku tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terlampau kaget mendengar pengakuan Toby.

Tangan Toby lalu mengambil tangan Raina dan memukulkan ke wajahnya. "Hajar aku, Rain! Hujum aku! Ambil mataku! Ambil nyawaku! Ampuni aku, Rain! Ampuni aku, Raina!"

Toby histeris dan menjadi sangat emosional. Raina lalu menangis dan memeluk Toby dengan erat. Keduanya tenggelam dalam perasaan hancur yang luar biasa.